SURYAKEPRI.COM – Hate speech atau ujaran kebencian di Asia Tenggara telah berkembang menjadi bentuk baru sehingga membutuhkan pendekatan multi-stakeholder untuk menemukan solusi jangka panjang.
Masyarakat sipil, pemerintah dan perusahaan teknologi perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah ini.
Ini adalah konsensus bersama yang muncul ketika Asia Center meluncurkan laporannya, “Ujaran Kebencian di Asia Tenggara: Formula Baru, Aturan Lama” melalui webinar pada 22 Juli 2020.
Sekitar 200 orang yang terdaftar mengikuti acara melalui Zoom, juga disiarkan langsung melalui Facebook dan dibagikan secara luas.
Dr Robin Ramcharan, Direktur Eksekutif Asia Centre mempresentasikan laporan tersebut.
- BACA: Tak Main-main, Pelaku Ujaran Kebencian di Batam Ditahan Jajaran Polda Kepri
- BACA: Pelaku Ujaran Kebencian ke Presiden Jokowi Disikat Ditreskrimsus Polda Kepri, Bikin Lelucon yang Tak Elok
- BACA: 6 Fakta Larangan PNS di Media Sosial, Tidak Boleh Like Ujaran Kebencian Apalagi Menyebarkan
Dia mencatat, “Terlepas dari yang didasarkan pada ras dan agama, bentuk-bentuk baru ujaran kebencian telah diarahkan kepada warga negara asing seperti pekerja migran dan pengungsi; kelompok LGBTI, masyarakat; dan mereka yang memiliki nilai-nilai politik, ideologi, dan afiliasi yang berbeda.”
Rekomendasi utama laporan ini termasuk memperluas parameter untuk memasukkan bentuk baru ujaran kebencian dan serangkaian rekomendasi sekunder yang menyebut dasar dan kebijakan yang tidak diskriminatif dan membatasi kebebasan berekspresi.
Perusahaan teknologi juga diminta untuk ikut bertanggungjawab dan melakukan lebih banyak upaya untuk memberantas penyebaran ujara kebencian di platform mereka.
Setelah presentasi, pembahas Nukila Evanty, Direktur Eksekutif, Women Working
Group Indonesia, Nur Judy Binti Abdullah, pendiri dan direktur eksekutif Founder and Executive Director of Project Women and Girls Development, Brunei, dan Rowan Reid, Manajer Program Asia untuk Internews, Australia, menyampaikan pandangan mereka terhadap laporan tersebut.
Nur Judy binti Abdullah, Pendiri dan Direktur Eksekutif Project Women and Girls
Development membagikan apa yang ditemukan oleh organisasinya di Brunei.
“Di Brunei Darussalam, pandemi Covid-19 telah menyebabkan meningkatnya pelecehan seksual secara online. Bekerja dari rumah untuk wanita dan kelas online untuk anak-anak membuat mereka rentan terhadap pelecehan seksual melalui platform media sosial.
Pelecehan seksual secara online telah berkontribusi terhadap peningkatkan masalah kesehatan mental dan organisasi kami telah membantu meningkatkan kesadaran kalangan perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan para pelaku kepada otoritas terkait untuk tindakan yang tepat.