
“Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi,” kata pria yang akrab disapa Steve.
Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska
Asmin menyatakan setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan. Menurutnya, legalisasi itu sesuai dengan konstitusi yang menjamin hak atas kesehatan masyarakat.
“Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle,” kata Asmin.
Ahli pemerintah Aris Catur Bintoro
Aris sehari-hari adalah spesialis saraf dan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia. Aris saat ini bekerja di KSM Neurologi RSUP Kariadi Semarang. Menurutnya, organisasi epilepsi dunia (ILEA/International League Against Epilepsy) belum sepakat ganja bisa dipakai untuk terapi kesehatan. Oleh sebab itu, Aris meminta MK menolak judicial review pemohon agar ganja untuk kesehatan dilegalkan.
“Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat anti epilepsi,” kata Aris.(*)