BATAM, SURYAKEPRI.COM – Puisi merupakan suara hati yang ketika ketulusannya terbaca lewat ekspresiĀ bahkan airmata. Hal itu terlihat ketika Calon Walikota Amsakar Ahmad membaca puisi ciptaannya berjudul Sejarah Tak Terbaca.
Di hadapan tokoh dan warga Kampung Tua saat pertemuan di MTC Nongsa beberapa waktu lalu, Ā Amsakar, selain dikenal sebagai politisi, ternyata juga seorang penyair yang mampu menyentuh hati dengan kata-katanya.
Puisi ini menggambarkan perjuangan dan kesedihan yang dirasakan warga Kampung Tua, sebuah wilayah yang penuh sejarah namun kerap kali terabaikan. Dalam puisi itu, Amsakar menyentuh realitas pahit yang dialami kampung-kampung tersebut, seolah-olah masa lalu yang gemilang hanya menjadi kenangan yang perlahan terkikis.
“Tuan dan Puan, ini adalah kisah tentang sejarah yang tak terbaca. Tatkala Nadim, Abdul Jamal, Raja Isa, dan Ali Kelana membuat masa lampau kemilau dan berdelau, menjulang ke semua selat dan penjuru jagat. Tapi kini mereka pasti kecewa melihat kita sedang menuai air mata dalam sejarah luka Kampung Tua bagai Palestina di Gaza.”
Puisi yang dalam dan penuh makna ini mencerminkan harapan warga Kampung Tua agar nasib mereka diperhatikan, dengan harapan besar pada pasangan ASLI (Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra) untuk memenangkan Pilkada Batam 2024. Harapan mereka adalah agar kampung-kampung tua yang memiliki nilai sejarah tidak digusur, melainkan diakui dengan penerbitan sertifikat Kampung Tua.
Keinginan Amsakar untuk melestarikan 37 titik Kampung Tua di Batam tersirat dalam puisi tersebut. Saat ia menutup puisi dengan bait terakhir, air mata menggenang di matanya, yang kemudian ia seka dengan tangan.
“Di negeri tempat transaksi harga diri ini kadang kala mata air kita menjadi air mata,” tutup Amsakar, seraya menahan emosi.
Puisi ini menggugah, seakan menjadi simbol dari tekadnya untuk melestarikan sejarah yang selama ini “tak terbaca,” dan harapan warga untuk masa depan yang lebih baik bagi Kampung Tua mereka.
Berikut syair lengkap
SEJARAH YANG TAK TERBACA
~ Puisi Amsakar Ahmad
jejak yang tinggal
di tapak perjalanan waktu
adalah kisah yang terdedah
tentang sketsa warna
yang kita punya
tapi peristiwa kadang jadi percuma
karena keteladanan
tak mungkin direngkuh
oleh hati yang keruh
di mana sejati hendak dicari
kalau delau dan kemilau masa lampau
hanya menjadi secebis amis
dalam perjalanan zaman
yang lintang pukang
tuan dan puan
ini adalah kisah tentang sejarah
yang tak terbaca
tatkala nadim, abdul jamal,
raja isa, dan ali kelana
membuat masa lampau
kemilau dan berdelau
menjulang ke semua selat
dan penjuru jagat
tapi kini mereka pasti kecewa
melihat kita sedang menuai air mata dalam sejarah luka kampung tua
bagai palestina di gaza
kita pun kini tak sanggup lagi
menyanyi raja doli
tak lagi menari jengger jolok
tak lagi berkidung pak ketipak ketipung
sekali lagi tuan dan puan
ini adalah kisah tentang sejarah
yang tak terbaca
tatkala malam membuat gurindam semakin suram
sedang pantun hanya pemikat
tepuk tangan sesaat
lalu syair makin terhumban
dalam rentak waktu yang ngilu
entah di mana
mak inang pulau kampai tergadai
dalam pertarungan
marwah yang terjajah
di negeri
tempat transaksi harga diri ini
kadang kala
mata air kita menjadi air mata (*)